Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Selasa, 10 Januari 2012

Kejahatan Korporasi

Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya *

Oleh Bismar Nasution **

Aktris Julia Roberts meraih Academy Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich yang menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul film tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat, dimana perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation) yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah mencemarkan air di daerah tersebut. Perusahaan itu tidak mengumumkannya tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah mereka aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.

Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime. [1]

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. [2] Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. [3] Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?

Kejahatan Korporasi

Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime. [4]

Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.

Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. [5]

Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. [6]

Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini. [7] Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. [8] Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).

Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:

  1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
  2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap

2.1. korporasi sendiri, atau

2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau

2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.

  1. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan). [9]

Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :

- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi

- UU No.38/2004 tentang Jalan

- UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

- dan lain-lain

Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan :

Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana. [10]

Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 [11] yang mengadopsi doktrin vicarious liability. [12]

Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.

Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.

Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) [13] serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) [14] dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. [15] Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia. Dua kasus yang muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.

Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut pertanggunjawaban pidana terhadap korporasi. Pandangan ini bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu, dalam perkembangan selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada, ‘korporasi’ juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai ‘pelaku’. Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening (peraturang tentang tata guna dan lalu lintas perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan—kewajiban yang diancam dengan sanksi pidana apabila dilalaikan. [16]

Dalam praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public [17] yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk pelanggaran atau kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak memerlukan pembuktian mens rea atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti oleh pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa. [18]

Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens rea baru dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat. Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal liability pertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act [19] section I.

Mala In Se

Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk perbuatan mala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan administratif.

Namun, apabila tindakan yang dilakukan seseorang itu termasuk kategori mala in se, misalnya, dalam kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya tidak hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar? Apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actus reus.

Mens Rea dan Actus Reus

Dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi.

1. Identification Tests / Directing Mind Theory

Berdasarkan teori identifikasi atau directing minds theory, kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi. Teori ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu melalui kasus Lennard’s Carrying Co. Ltd v. Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C. 705, at 713 (H.L.). Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan berpendapat :

[A] corporation is an abstraction. It has no mind of its own anymore than it has a body of its own; its active and directing will must consequently be sought in the person of somebody who for some purposes maybe called an agent, but who is really the directing mind and will of the corporation, the very ego and centre of the personality of the corporation….For if Mr. Lennard was the directing mind of the company, then his action must, unless a corporation is not to be liable at all, have been an action which was the action of the company itself……[20]

Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut……Jika Tuan Lennard merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri.

Dalam kasus lain di Inggris, yaitu kasus Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass [1972] A.C. 153, Hakim Pengadilan berpendapat :

“The person who acts is not speaking or acting for the company. He is acting as the company and his mind which directs his acts is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the guilt of the company.” [21]

Orang yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan.

Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan.

Teori identifikasi ini turut diadopsi oleh Kanada. Hal ini dapat dilihat dalam kasus R. v. Fane Robinson Ltd., dimana perusahaan Fane Robinson dan dua orang direkturnya yang merupakan pengelola yang aktif, dalam tingkat banding, didakwa melakukan tindak pidana berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut. Pengadilan menyimpulkan bahwa secara umum kedua orang direktur perusahaan merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will) dari perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh perusahaan. [22]

Kasus lain di Kanada yang dianggap sebagai leading case menyangkut teori identifikasi adalah kasus Canadian Dredge and Dock v. The Queen, [1985] 1 S.C.R. 662. Dalam kasus ini, Supreme Court mengakui teori ini sebagai model untuk menentukan tanggungjawab perusahaan. Pengadilan berpendapat bahwa faktor yang membedakan antara directing mind dengan pegawai biasa adalah tingkatan kewenangan pengambilan atau pembuatan keputusan dalam praktek individual. Individu yang bertanggungjawab menyusun dan menerapkan kebijakan korporasi adalah directing mind dari perusahaan bersangkutan. Sebaliknya, individu yang membuat kebijakan untuk operasional day-to-day basis, bukanlah directing mind. Supreme Court menempatkan directing mind sebagai “ego”, “pusat” dan/atau “organ vital” korporasi. [23]

Dari case law ini, muncul beberapa prinsip atau konsep yang penting. Pertama, directing mind dari suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu individu saja. Sejumlah pejabat korporasi atau anggota direksi bisa membentuk directing mind. Kedua, faktor geografis tidak berpengaruh. Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang menjadi directing minds korporasi. Dengan demikian, seseorang tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan atau bertugas di daerah dimana perbuatan melawan hukum dilakukan. Ketiga, korporasi tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa individu-individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum meskipun telah ada instruksi untuk melakukan tindakan lain yang sah (tidak melawan hukum). Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya memiliki kewajiban untuk mengawasi tindak tanduk para pegawai lebih dari sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan illegal. Keempat, untuk dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, individu bersangkutan harus memiliki criminal intent atau mens rea. Directing mind dan mens rea ada pada individu yang sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat korporasi lain yang merupakan directing mind korporasi tidak bisa dikenakan tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari. Kelima, untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus dapat dibuktikanbahwa tindakan seorang directing mind adalah : i) berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii) bukan merupakan penipuan (fraud) yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii) dimaksudkan untuk dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Keenam, tanggung jawab korporasi memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan berdasarkan case-to-case basis. Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances). [24]

Pendekatan teori identifikasi yang berkembang dari Inggris ini mengundang kritik karena corporate liability terbatas bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota direksi dan beberapa karyawan lain setingkat manager yang memiliki kewenangan dan memberikan perintah. Hal ini secara tidak adil memberikan keuntungan pada korporasi-korporasi yang besar karena mereka akan dapat menghindarkan diri dari pertanggungjawaban pidana akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh karyawan-karyawan yang jabatannya lebih rendah dan bertugas melakukan aktivitas sehari-hari (day-to-day activities). [25] Namun di Kanada teori identifikasi kini kemudian mengalami perkembangan atau ’modifikasi’. Pengadilan Kanada mengidentifikasi dan membuka kemungkinan bahwa directing mind berada pada level atau golongan karyawan yang lebih rendah yang menjalankan perintah atau memiliki kewenangan yang sifatnya delegatif. [26]

Dengan melihat penerapan teori ini oleh Kanada untuk menyiasati kekurangan yang ditimbulkan dalam aplikasinya, penerapan teori ini harus dilakukan dengan berdasark­an pada case-by-case basis dan ­­fact-specific basis.

2. Doktrin Vicarious Liablility

Doktrin yang pada mulanya diadopsi di Inggris ini sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya, menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal ini, teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur mens rea (guilty mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban. Pengadilan di Inggris dan Kanada telah menolak doktrin ini, dan mengadopsi teori identifikasi. Namun, pendekatan doktrin ini masih digunakan di pengadilan federal Amerika Serikat. [27]

Di Indonesia, doktrin ini diterapkan dalam Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan.

3. The Corporate Culture Model

Pendekatan jenis ini digunakan oleh Australia. Istilah corporate culture dapat kita lihat dalam Australian Criminal Code Act 1995 (Undang-undang Pidana Australia) yang didefinisikan sebagai berikut :

an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant activities take place”.

Yaitu suatu bentuk sikap, kebijakan, aturan, rangkaian perbuatan atau praktek yang pada umumnya terdapat dalam tubuh korporasi atau dalam bagian tubuh korporasi dimana kegiatan-kegiatan terkait berlangsung. [28]

Menurut undang-undang ini, tanggung jawab pidana bisa dijatuhkan apabila terbukti bahwa : Pertama, dewan direksi korporasi dengan sengaja atau dengan tidak hati-hati (ceroboh) melakukan tindakan-tindakan (conduct) yang relevan, atau secara terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize) atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau kejahatan. Kedua, agen manajerial korporasi tingkat tinggi (seperti direksi, komisaris, manajer) secara sengaja, mengetahui benar atau tidak hati-hati terlibat dalam tindakan-tindakan yang relevan, atau secara terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize) atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau kejahatan. Ketiga, ada budaya atau kebiasaan dalam tubuh korporasi yang menginstruksikan, mendorong, atau mengarahkan dilakukannya tindakan-tindakan pelanggaran (non compliance) terhadap peraturan-peraturan tertentu. Keempat, korporasi gagal membentuk dan mempertahankan budaya yang menuntut kepatuhan (compliance) terhadap peraturan-peraturan tertenty. [29]

Di Kanada, bentuk pendekatan ini ditolak karena dinilai terlalu kabur atau samar-samar jika diterapkan untuk menentukan mens rea korpoasi.

3. Aggregation Test

Menurut teori ini, dengan cara menjumlahkan (aggregating) tindakan (acts) dan kelalaian (omission) dari dua atau lebih orang perorangan yang bertindak sebagai perusahaan, unsur actus reus dan mens rea dapat dikonstruksikan dari tingkah laku (conduct) dan pengetahuan (knowledge) dari beberapa individu. Inilah yang disebut dengan Doctrine of Collective Knowledge atau Doktrin Pengetahuan Kolektif.

Amerika Serikat juga mengadopsi teori ini. Hal ini dapat dilihat dalam satu kasus, yaitu United States v. Bank of New England (1987) 821 F2d 844. Bank of New England didakwa dengan tuduhan secara sengaja tidak melaporkan suatu transaksi mata uang. Tuduhan ini terbukti karena yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’ bank merupakan totalitas dari semua yang diketahui oleh para pegawai dalam ruang lingkup kewenangan mereka. [30]

4. Blameworthiness Test

Gobert menyatakan bahwa jika suatu korporasi tidak melakukan tindakan pencegahan atau melakukan due diligence guna menghindari melakukan suatu tindak pidana, maka hal ini akan tampak dari budaya dan kepercayaannya yang tercermin dari struktur, kebijakan, praktek dan prosedur yang ditempuh oleh korporasi tersebut.

Teori ini menolak pemikiran bahwa korporasi harus diperlakukan sama seperti halnya orang perorangan dan mendukung bahwa harus ada konsep hukum lain untuk menyokong pertanggungjawaban subyek-subyek hukum fictitious (korporasi). Hal ini merefleksikan struktur korporasi-korporasi modern yang umumnya terdesentralisasi dan dimana kejahatan tidak terlalu dikaitkan dengan perbuatan jahat atau kelalaian individual, tetapi lebih kepada sistem yang gagal untuk mengatasi permasalahan pengawasan dan pengaturan resiko. [31]

Pertanggungjawaban Pidana oleh Pengurus Korporasi

Dalam korporasi atau perusahaan, para anggota direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam badan hukum tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Di sini komisaris dan direktur memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut pengalaman common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty.[32] Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).[33] Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut, common law mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang tinggi.[34]

Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.[35] ,sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care)[36]. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyality ).[37] Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.[38]

Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.

Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.[39]

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.

Jika kita menghubungkannya dengan identification theory dalam wacana common law sebagaimana telah diuraikan diatas, kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat: i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka, ii) bukan merupakan penipuan yang dilakukan terhadap perusahaan, iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.

Business Judgment Rule

Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, terdapat pula doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. [40]

Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.[41] Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.

Apabila kita membandingkan dengan praktek yang dilakukan di Belanda, kita dapat melihat suatu beschikking tanggal 19 November 1987, NJ 1986, 125, Hoge Raad, yang menetapkan bahwa seseorang baru dapat dikatakan secara faktual memimpin dalam konteks tindak pidana korporasi hanya jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan (yang dalam kasus ini menyangkut dengan pemalsuan surat). Namun kebijakan ini dinilai kurang tepat karena para pemimpin/direksi/pejabat korpoasi lainnya yang tidak secara langsung terlibat atau bekerja serampangan terbebas dari tanggung jawab. [42]

Kemudian dalam keputusan berikutnya dalam kasus yang sama, tanggal 16 Desember 1986, NJ 1987, 321, majelis hakim memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa dikatakan memimpin faktual apabila fungsionari atau pejabat yang bersangkutan sekalipun berwenang dan secara masuk akal dapat melakukannya justru tidak melakukan langkah-langkah untuk mencegah tindakan terlarang dan secara sadar menerima kesempatan yang kemudian muncul agar tindakan terlarang tersebut terlaksana. Dalam situasi tersebut, menurut pengadilan, dianggal sengaja mendukung dilakukannya tindakan terlarang itu. Dalam kasus yang diperiksa, penerimaan atas tindak pidana tersebut dianggap terjadi jika yang bersangkutan mengetahui bahwa dilakukannya tindak pidana secara faktual oleh korporasi (suatu bank) berkaitan langsung dengan apa yang didakwakan. [43]

Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Kanada, berdasarkan Undang-undang Hukum Pidana Kanada, direksi dan pejabat korporasi lainnya dapat bertanggung jawab secara pribadi. Alternatif lain yang dimungkinkan adalah mereka juga dapat dituntut sebagai pihak atas tindakan yang dilakukan oleh individu yang lain.[44]

Private Member’s Bill C-284 [45] telah menetapkan bahwa penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap direksi dan pejabat-pejabat korporasi lainnya dimana mereka bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dan mensahkan (authorize) tindakan atau kelalaian yang menjadi tindak kejahatan. Jika direksi atau pejabat korporasi lainnya: i) mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakan atau kelalaian itu merupakan tindak pidana, ii) mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan atau akan dilakukan, dan iii) tidak atau gagal mengambil langkah yang memungkinkan untuk mencegah dilakukannya tindakan itu, maka mereka dapat dipidana atau dibenbankan tanggung jawab. [46]

Kesimpulan

Dengan pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dan landasan yang solid dalam hukum untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Dalam berbagai harus terdapat pengaturan menyangkut pertanggungjawaban ini.

Selain itu, diperlukan perhatian studi yang lebih mendalam, baik di kalangan akademis, profesional maupun aparat penegak hukum, guna membangun suatu kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.

Dine, Janet, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998.

Ferguson, Gerry, Corruption and Criminal Liability, www.icclr.law.ubc.ca/ Publications/ Reports/ FergusonG.PDF

Gross, Hyman, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hal.114.

Keenan, Denis & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1996.

Khanna, V.S, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996

Lipton, Philip dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.

Little, Christopher M. & Natasha Savoline, Corporate Criminal Liability in Canada: The Criminalization of Occupational Health & Safety Offences, Filion Wakely Thorup Angeletti (Management Labour Lawyers), www.filion.on.ca/pdf/ CML%202003%20Paper.pdf

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989.

Remmelink, Jan, HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2003

Rusmana,SH, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php

Scott, Charity, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989)

Seligman, Joel, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995.

Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).

Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005.

Soesanto, L.C, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

Susanto, I. S, Statistik Kriminal sebagai Konsruksi Sosial, Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya, suatu Studi Kriminologi, Disertasi, Semarang, 1990 (Tidak diterbitkan).

Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation Press Inc. 1989)

http://en.wikipedia.org/wiki


* Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006.

** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987– sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999–sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.

[1] Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005, Hal. 9.

[2] Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hal.114.

[3]Rusmana,SH, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php

[4] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.

[5] Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).

[6] Ibid.

[7]Diintisarikan dari Susanto, I. S. 1990, Statistik Kriminal sebagai Konsruksi Sosial, Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya, suatu Studi Kriminologi, Disertasi, Semarang (Tidak diterbitkan).

[8] Jan Remmelink, HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2003, Hal. 98.

[9] Ibid. hal.102.

[10] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989, hal.55.

[11] Pasal 46 Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup menyebutkan :

Ayat (1): Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Ayat (2): Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

Ayat (3): Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
Ayat (4): Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

[12] Vicarious Liability adalah pembebanan pertanggungjawaban pada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain, semata-mata berdasarkan hubungan antara kedua orang tersebut.

[13] Actus Reus atau guilty act adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku bertanggung jawab secara pidana jika unsur mens rea juga turut terbukti.

[14] Mens rea atau gulty mind adalah salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, disebut juga dengan pengetahuan atau tujuan yang salah.

[15] L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

[16] Jan Remmelink, Op.Cit, hal.100.

[17] Quasi-public corporations adalah korporasi-korporasi yang tidak seutuhnya bersifat publik, dalam arti berkerja untuk tujuan pemerintahan, tetapi operasi atau aktivitas dari korporasi tersebut turut memberikan kenyamanan, kemudahan, atau kesejahteraan khalayak umum, seperti perusahaan telepon, gas, air, listerik, dan perusahaan. (Black’s Law Dictionary)

[18] V.S. Khanna, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996, hal.2

[19]Elkins Act adalah Undang-undang federal Amerika Serikat (1903) yang mendukung pelaksanaan Interstate Commerce Act (undang-undang perdagangan antara negara bagian) dengan melarang pemotongan harga dan bentuk-bentuk perlakuan istimewa lainnya terhadap jasa pengangkut (shipper) yang besar (Black’s Law Dictionary).

[20]Gerry Ferguson, Corruption and Criminal Liability, www.icclr.law.ubc.ca/Publications/ Reports/ FergusonG.PDF, hal. 5

[21] http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability

[22] Gerry Ferguson, Op.Cit, hal. 5.

[23] Christopher M. Little & Natasha Savoline, Corporate Criminal Liability in Canada: The Criminalization of Occupational Health & Safety Offences, Filion Wakely Thorup Angeletti (Management Labour Lawyers), hal. 5, www.filion.on.ca/pdf/CML%202003%20Paper.pdf

[24] Ibid, hal.6.

[25] http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability

[26] Gerry Ferguson, Op.Cit, hal.7.

[27] Christopher M. Little & Natasha Savoline, Op.Cit, hal. 8.

[28] Ibid, hal.11

[29] Ibid.

[30] http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability

[31] Ibid.

[32] 375 U.S. 180, 195-196 (1965).

[33] Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, hal. 625.

[34] Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989), hal. 291.

[35] Lihat, Janet Dine, Company Law- Sweet &Maxwell’s Textbook Series, Sweet & Maxwell, 2001, hal 217.

[36] Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1996, hal 317.

[37] Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995.

[38] Philip Lipton dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992, hal 342.

[39] Janet Dine, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998, hal 179.

[40] Teori Business judgment rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829. Lihat Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4

[41] Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation Press Inc. 1989) hal 212. , lihat juga Robert Charles Clark, Corporate Law, Boston &Toronto: little, Brown and Company, 1986, hal 123 yang menyatakan bahwa Business Judgement Rule adalah “ a presumption that in making a business decision, the director of corporation acted on an informed basis in good faith and in the the honest belief that the action was taken in the best interest of the company”.

[42] Jan Remmelink, Op.Cit, hal.111.

[43] Ibid.

[44] Christopher M. Savoline, Op.Cit, hal.7.

[45] Undang-undang ini adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengademen atau menambah ketentuan isi Penal Code Kanada, menyangkut kejahatan korporasi beserta para pengurusnya.

[46] Ibid.


Dimaksud dengan Kejahatan Korporasi

Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

A. Pendahuluan

Sekian banyak para cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara Indonesia dewasa ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena yang terjadi seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih, kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan serta belum harmonisasinya seluruh ketentuan perundang-undangan yang ada. Lebih dari itu, maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.Dampak dari semua itu tentu membawa keterpurukan negara yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan yang pada akhirnya memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dapak lainnya antara lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan, dan kurangnya insentif yang menyebabkan iklim berusaha tidak dapat berjalan secara kondusif.

Dari sisi penegakan hukum, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan pemberantasan berbagai tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Berbagai upaya tersebut antara lain penerbitan Keppres No.228/1967, pembentukan TGTPK dan KPKPN dan terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, dengan upaya ini belum dapat dikatakan kita telah berhasil mengatasi permasalahan penegakan hukum, tercermin dari publikasi yang memuat pemeringkatan negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparancy International dan PERC (Political and Economic Research Consulting) yang selalu menempatkan Indonesai dalam posisi terburuk[1]. Sementara itu, Country Manager International Finance Corporation (IFC), German Vegarra dalam laporan Doing Business in 2006 yang disusun International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa dari hasil survey kemudahan berbisnis di 166 negara, Indonesia menduduki peringkat bawah. Survei yang dilakukan mencakup tujuh paket indikator iklim bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan, menghentikan pegawai, menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan property, memperoleh kredit, melindungi investor dan menutup usaha. Di samping itu, indikator lain adalah pembayaran pajak, lisensi usaha dan perdagangan antar batas Negara. Hal-hal yang melemahkan posisi Indonesia (tahun lalu Indonesia masuk urutan 115 negara dari 145 negara) adalah tingkat kesadaran membayar pajak, dan jumlah hari serta prosedur untuk menetapkan kontrak cukup lama, yaitu 570 hari dengan 34 prosedur (sementara Malaysia hanya 300 hari dan 31 prosedur, dan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur)[2]. Apa yang telah dilakukan di atas masih terbatas dalam lingkup korupsi dan belum menyentuh tindak pidana lain khususnya tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta kekayaan seperti penyuapan, penyelundupan, perbankan, pasar modal, dan lainnya, baik yang melibatkan sektor pemerintahan maupun swasta. Diakui atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana – tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan di atas bukan hanya karena metode yang digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem dimaksud adalah rezim anti pencucian uang, dimana pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Makalah ini akan membahas bagaimana penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui penerapan Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 dan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam membantu upaya memerangi tindak pidana asal (predicate crime) di Indonesia.

B. Skema Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia

Sebelum lebih spesifik membahas bagaiamana penanganan tindak pidana pencucian uang, perlu terlebih dahulu secara singkat diuraikan mengenai rezim anti pencucian uang di Indonesia. Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu :

1. Sektor keuangan (financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (reporting parties-penyedia jasa keuangan) dan pengawas & pengatur industri keuangan. Walaupun tidak termasuk dalam sistem keuangan dan pihak pelapor, Ditjen Bea dan Cukai dapat dikelompokkan dalam sektor ini karena berperan dalam menyampaikan laporan kepada PPATK. Namun apabila dilihat dari kewenangannya, dapat juga Ditjen Bea dan Cukai dimasukkan dalam sector law enforcement.

2. PPATK sebagai intermediator (penghubung) antara financial sector dan law enforcement/judicial sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di tengah-tengah antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan seleksi melalui kegiatan analisis terhadap laporan (informasi) yang diterima, yang hasil analisisnya untuk diteruskan kepada penegak hokum. Dalam kegiatan analisis tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri.

3. Sektor penegakan hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang menjadi dasar dari penegak hokum untuk diproses sesuai hokum acara yang berlaku.

Di samping itu, terdapat pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan instansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Kehutanan dan sebagainya.

Di bawah ini diuaraikan secara singkat peran, tugas dan tanggung jawab setiap komponen tersebut.

skema-ml.gif

1. Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties)UU TPPU mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodion, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU TPPU. 2. Pengawas dan Pengatur Industri Keuangana. Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur system pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR).

Sebagai otoritas pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles. b. BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency) – Lembaga KeuanganPedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga keuangan non bank menjadi tanggung jawab BAPEPAM – Lembaga Keuangan agar kegiatan pasar modal dan lembaga keuangan dilaksanakan secara fair dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan public sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk kegiatan pasar modal dan peraturan perundang-undangan lain untuk kegiatan lembaga keuangan non bank. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam- Lembaga Keuangan juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal dan lembaga keuangan. 2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK)PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. 3. Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)Berdasarkan laporan hasil analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak. Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara diteruskan kepada Kejaksaan untuk pembuatan dakwaan atau tuntutan dalam sidang pengadilan.4. Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPUDi samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diketuai oleh Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian, sekeretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait. C. Pengertian dan Pola Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan Tindak Pidana Asal1. Pengertian Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta kekayaan yang diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan Pasal 6. 2. Pola tindak pidana pencucian uang Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan integration. Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. 3. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana lainnyaHubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU). D. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian UangProses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah :a. Laporan dari PJKSebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal 1 angka 7 UUTPPU, LTKM adalah :- transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan- transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;- transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK.Dalam kaitan ini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.b. Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).c. Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri. d. Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lainBerdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group. 2. Peran PPATK Menurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan (”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement, layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction report) dan transaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes) khusunya korupsi. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporan hasil analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan instansi pemerintah atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.Berdasarkan angka statistik per 31 Agustus 2005, PPATK telah menerima sebanyak 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum dan 1 BPR, 4 perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga pembiayaan, 1 manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi. Jumlah penyedia jasa keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum optimal dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan analisis dengan menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah diserahkan kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis dari 616 LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil analisis dari 11 LTKM. F. Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :1. Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait. 2. Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan perlindungan saksi dan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi lebih efektif. Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara terhadap kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya. 3. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). 4. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil analisis yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di pengadilan.1. PemblokiranUU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.2. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut UU No. 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK, 2) tersangka dan 3) terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain :· Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk ditindaklanjuti. · Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.· Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan syarat :· ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU· menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain : status permintaan informasi (untuk penyidikan atau penuntutan); tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan TPPU berikut predicate crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu); nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang dilakukan.Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK dengan penegak hukum.3. PenyitaanDana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :- Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.- Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap harta kekayaan. - Di samping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai atau tidak- Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :ü apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile?ü apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya?ü apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya?Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya Pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab (beban) terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal. Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku penuntut umum dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). Di samping itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :

  1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
  2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
  3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
- Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank)- kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)- tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi. Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.

Dimaksud Rezim Anti Pencucian Uang

Edmund W Kitch Mengemukakan 3 Karakteristik Atau Features Of Economic

Edmund W Kitch mengemukakan 3 karakteristik atau features of economic yaitu ;

  1. Pelaku menggunakan modus operandi yang sulit dibedakan dengan modus operandi kegiatan ekonomi pada umumnya.
  2. Tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha yang sukses dalam bidang nya
  3. Tindak pidana ini memerlukan penanganan atau pengendalian secara khusus dari aparatur penegak hukum.

Ensiklopedia Crime and Justice membedakan 3 tipe tindak pidana ekonomi;

  1. Property crimes
  2. Regulatory crimes
  3. Tax crime

Property Crime

  • Memiliki pengertian yang lebih luas dari pengetahuan pencurian Pasal .362 KUHP
  • Meliputi objek yang dikuasai individu (perorangan) dan juga yang dikuasai Negara.
  • Missal di amerika serikat dikenal Integrated Theft Offense yang meliputi tindakan
  1. Tindakan pemalsuan (forgery)
  2. Tindakan penipuan yang merusak (the fraudulent destruction)
  3. Tindakan memindahkan atau menyembunyikan instrument yang tercatat atau dokumentasi (removal or concealment of recordable instrument)
  4. Tindakan mengeluarkan cek kosong
  5. Menggunakan kartu kredit yang diperoleh dari pencurian dan kartu kredit yang ditangguhkan
  6. Praktik usaha curang
  7. Tindakan penyuapan dalam usaha
  8. Tindakan perolehan atau pemilikan sesuatu dengan cara tidak jujur atau curang
  9. Tindakan penipuan terhadap kreditur beritikad baik
  10. Pernyataan bankrupt dengan tujuan penipuan
  11. Perolehan deposito dari lembaga keuangan yang sedang pailit.
  12. Penyalah gunaan dari asset yang dikuasai
  13. Melindungi dokumen dengan cara curang dari tindakan penyitaan.

Regulatory Crimes

  • Setiap tindakan yang erupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah yang berkaitan dengan usaha dibidang perdagangan atau pelanggaran atas ketentuan-ketentuan mengenai standarisasi dalam dunia usaha.
  • Seperti; larangan perdagangan marijuana illegal, penyelenggaraan pelacuran, peraturan tentang lisensi, pemalsuan kewajiban pembuatan laporan dari aktivitas usaha dibidang perdagangan, melanggar ketentuan upah buruh, larangan monopoli di dalam dunia usaha serta kegiatan usaha yang berlatar politik.

TAX CRIME

  • Tindakan yang melanggar ketentuan mengenai pertanggungjawab di bidang pajak dan persyaratan yang telah diatur dalam undang-undnag pajak.
  • Seperti Indonesia setiap tahun dirugikan oleh konglomerat-konglomerat hitam yang melakukan penggelapan dan penyelundupan pajak.

MULADI , mengatakan tipologi tindak pidana bias dibedakan atas dasar tujuan pengaturannya dan motivasi dilakukannya

Tujuan Pengaturannya

  • Peraturan yang berusaha menjaga agar kompetisi bisnis dilakukan dengan jujur dan efektif
  • Peraturan yang berusaha mencampuri ekonomi pasar, seperti pengendalian harga, peraturan export/impor , devisa.
  • Pengaturan fiscal, seperti ;manipulasi pajak dan bea cukai
  • Peraturan korupsi, missal menyuap

Motivasi dilakukannya kejahatan;

  • Kejahatan yang bersifat individual, seperti pemalsuan kartu kredit dan pajak pribadi
  • Kejahatan dilingkungan okupasi yang melanggar kewajiban dan kepercayaan baik di lingkungan bisnis, pemerintahan maupun lembaga lain, seperti kejahatan perbankan, manipulasi biaya perjalanan.
  • Kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan bisnis, sekalipun tidak bersifat sentral, seperti manipulasi pajak, kejahatan obat dan makanan, korupsi dan kolusi.
  • Kejahatan dilingkungan bisnis yang bersifat sentral, seperti penipuan asuransi dan adpertensi palsu.

Proses penegakan hukum pidana berpegang kepada Three basic Problems In criminal law

  • Perbuatan yang dilaranf (strafbarfeit)
  • Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (schuld)
  • Sanksi pidana (straaf)

Korporasi

  • Adalah terminology yang biasa digunakan dalam hukum pidana disebut badan hukum (recht person atau legal entity) yang sudah melembaga di bidang hukum perdata
  • Merupakan badan hasil ciptaan hukum yang unsure-unsurnya terdiri dari corpus (struktur fisik) dan animus (kepribadian), maka kematianpun ditentukan oleh hukum.
  • Adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersam-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri ,suatu personifikasi
  • Adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban anggota masing-masing.

Korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana;

  • Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi tanggung jawab pidana masih dibebankan pada pengurus korporasi (psl 35 UU no 3 Th 1982)
  • Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku kejahatan dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum pidana (Psl 15 UU No 7 DRT, Psl 46 UU No 23 Thn 1977)

Kejahatan yang berkaitan dengan korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Crime for corporation (kejahatan korporasi) yaitu; pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya untuk memperoleh keuntungan
  2. Criminal corporation (korporasi jahant) yaitu, korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan, missal perusahaan multi level
  3. Crime against corporation (kejahatan terhadap korporasi) disini yang menjadi korban adlaah korporasi.

Peristilahan , pengertian tindak pidana dibidang ekonomi

  • Perbedaan antara istilah economic crimes dan istilah economic criminality
  • Economic crimes menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas)
  • Economic criminality menunjuk kepada kejahatan konvensional, yang mencari keuntungan yang bersifat ekonomis missal ; pencurian, penggelapan, pencopetan, perampokan, pemalsuan dan penipuan.
  • Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia dalam UU No 7 DRT 1855 lebih condong ke dalam istilah economic crimes dalam arti sempit.
  • Sebab UU tersebut secara subtansil hanya memuat ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan (UU NO 7 drt 1955)

ECONOMIC CRIME

  • Economic crime didefinisikan sebagai kegiatan criminal yang memiliki kesamaan tertentu dengan kegiatan ekonomi pada umumnya yaitu kegiatan usaha yang Nampak non criminal).
  • American bar association memberikan batasan ‘economic crime’ setiap tindakan illegal tanpa kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah, penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontraak, tindakan curang, tau tindakan menjebak secara illegal.

KITCH menegaskan cirri penting economic crimes

  • Proses pemilikan harta benda dan kekayaan secara licik atau dengan penipuan
  • Beroperasi secara diam-diam (tersembunyi)
  • Sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi

Tindak Pidana Ekonomi mengandung Unsur-unsur

  1. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sah
  2. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan Negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya kepentingan individual
  3. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang merugikan perusahaan lain atau individu lain.

TIPE KEJAHATAN

  • Corporate crime

    Memiliki status sosial tinggi di dalam masyrakat, identik dengan konsepsi White Colar Crime dan Business crime, bukan suatu organisasi kejahatan melainkan merupakan kelompok dunia usaha , dan dapat dilakukan oleh perorangan (direktur2nya) atau oleh perusahaan itu sendiri

  • Organized crime

    Kejahatan sebagai mata pencaharian criminal terasing dari masyarakat konsep diri sebagai penjahat berkembang pesat, selalu berkelompok dan memiliki pimpinan serta memang merupakan suatu organisasi kejahatan

  • Professional crime

    Memiliki status tinggidi kalangan penjahat dan specialisasi dalam kejahatan untuk memperoleh keuntungan ekonomis,

WHITE COLLAR CRIME

  • White collar crime diperkenalkan oleh Edwin H Sutherland tahun 1939 dipakai dengan istilah;
  • Organizational crime
  • Organized crime
  • Corporate crime
  • Bussines crime
  • Occupational deviance
  • Government deviance
  • Illegal corporate behavior

JOANN MILLER membagi white collar crime ke dalam 4 katagori

  1. Kejahatan korporasi
  2. Kejahatan jabatan
  3. Kejahatan professional
  4. Kejahatan individu

Kejahatan korporasi

  • Dilakukan oleh para eksekutif demi kepentingan dan keuntungan perusahaan yang berakibat kerugian pada masyarakat.
  • Missal , kejahatan lingkungan, kejahatan pajak, iklan yang menyesatkan dll.

Kejahatan jabatan (governmental occupational crime)

  • Kejahatan yang dilakukan oleh pejabat atau birokrat seperti korupsi dan abuse of power.

Kejahatan professional

  • Kejahatan dilingkungan professional, pelakunya meliputi lingkungan professional, seperti dokter, akuntan, pengacara, notaries dan berbagai profesi yang mempunyai kode etik khusus disebut malpraktik

Kejahatan individual

  • Kejahatan yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan keuntungan pribadi

Karakteristik white Collar Crime:

  • Kejahatan tersebut sulit dilihat , karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian professional dan system organisasi yang kompleks
  • Kejahatan tersebut sangat kompleks karena berkaitan dengan kebohongan, pemcurian dan penipuan, serta berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah dan teknoligis, financial, legal, terorganisir, melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun
  • Terjadi penyebaran tanggungjawab yang semakin meluas akibat kompleksitas organisasi
  • Penyebaran korban yang luas
  • Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan akibat kurang professionalnya aparat
  • Peraturan yang tidak jelas sehingga merugikan dalam penegakan hukum
  • Sikap mendua terhadap prilaku tindak pidana. Dalam tindak pidana ekonomi harus diakui bahwa pelaku bukanlah orang yang secraa moral salah, tetapi karena melanggar peraturan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.

Unsur kejahatan Korporasi

  • Kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat
  • Dari status sosial tertinggi
  • Dalam hubungannya dengan pekerjaannya melanggar kepercayaan public

Joseph F. Sheley; membagi kejahatan korporasi dalam 6 katagori;

  1. Menggelapkan. Menipu para pemegang saham
  2. Menipu masyarakat
  3. Menipu pemerintah
  4. Membahayakan kesejahteraan umum
  5. Membahayakan pekerja
  6. Intervensi illegal dalam proses politik

Kamis, 05 Januari 2012

Kode Rahasia Blackberry

Blackberry saat ini sudah bukan barang langka lagi, dengan fitur dan aplikasi yang lengkap menjadikan smartphone ini semakin digemari oleh para penikmat ponsel-ponsel canggih.

Nah, bagi Anda yang sudah menggunakan Blackberry sebagai perangkat komunikasi dan multimedia Anda, tidak ada salahnya Anda mencoba menggunakan perintah kode-kode yang bisa Anda gunakan untuk mengecek berbagai macam fitur yang ada dalam smartphone ini

Berikut kode-kode perintah rahasia yang bisa digunakan:

•ALT + N M L L = mengetahui kapasitas sinyal bar

•ALT + V A L D = verifikasi Address Book

•ALT + R B L D = merombak Address Book

•ALT + R B V = melihat source code dalam Webpage

•ALT + left Shift + press H = mengetahui info teknis yang ada dalam Blackberry

•* # 0 6 # = mengetahui IMEI yang ada pada Blackberry

•ALT + Right Shift + Delete = mengetahui simulasi kapasitas baterai sudah full

•ALT + L G L G = mengetahui log yang sudah dilakukan dalam Blackberry

•ALT + NUM / Aa / Cap + H = mengetahui Akses Informasi PIN – IMEI – Vendor ID – Free Memory – Versi OS

•M E P D pada Sim Card = mengecek status Blackberry locked atau unlocked

•ALT + Cap / Aa Right + DEL = merestart Blackberry yang sedang nge-hang

Senin, 02 Januari 2012

Terbangun

Ya Allah, tahun 2012 ini. Semoga awal dari terbangunnya dari mimpi untuk mengejar mimpi.
Powered by Telkomsel BlackBerry®