Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Seven Stars Group

Konsultan IT, Travelling, Shop Online, Event Organizer, Etc.

Kamis, 12 Januari 2012

Viktimologi

Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial. [1]

Viktimologi juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan.[rujukan?] Proses dimana seseorang menjadi korban kejahatan disebut dengan "viktimisasi".[rujukan?]

Daftar isi

[sembunyikan]
  • 1 Macam-macam tipologi korban
    • 1.1 Berdasarkan ?
    • 1.2 Berdasarkan peran
    • 1.3 Berdasarkan tingkat kesalahan
  • 2 Teori
    • 2.1 Teori Terpaan Gaya Hidup
    • 2.2 Teori Aktivitas Rutin
  • 3 Referensi

Macam-macam tipologi korban

Berdasarkan ?

Menurut M.E. Wolfgang, tipologi korban meliputi[2]:

  1. Viktimisasi Primer
  2. Viktimisasi Sekunder
  3. Viktimisasi Tersier
  4. Viktimisasi Mutual
  5. Tidak ada Viktimisasi

Berdasarkan peran

E.A. Fattah (1967)[2] merumuskan tipologi berdasarkan peran korban:

  1. Korban tidak ikut berpartisipasi
  2. Korban berperan secara tidak langsung
  3. Korban sebagai provokator
  4. Korban terlibat dalam kejahatan
  5. Korban dianggap sebagai sasaran yang keliru

Berdasarkan tingkat kesalahan

Selain itu, B. Mendelsohn merumuskan tipologi berdasarkan tingkat kesalahan korban[rujukan?]:

  1. Korban yang benar-benar tidak bersalah
  2. Koban memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
  3. Kesalahan korban sama dengan pelaku
  4. Korban lebih bersalah dari pelaku
  5. Korban sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
  6. Korban imajinatif

Teori

Teori Terpaan Gaya Hidup

Hindelang, Gottfredson, dan Garofalo menjelaskan mengenai bagaimana antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya memiliki perbedaan dalam risiko untuk menjadi korban kejahatan akibat perbedaan gaya hidup dari status sosial yang dimiliki.[rujukan?]

Teori Aktivitas Rutin

Cohen dan Felson menjelaskan mengenai perbedaan risiko viktimisasi seseorang karena adanya perbedaan aktivitas rutin sehari-hari dilihat dari dimensi waktunya.[rujukan?] Seseorang yang lebih sering berada di luar rumah diindikasikan memiliki kemungkinan lebih besar menjadi korban kejahatan dibandingkan dengan orang yang sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam rumah.[rujukan?]


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI

A. Pendahuluan

Sebenarnya dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana, mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui putusan pidana bersyarat.

Dalam Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :

  1. Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);

  2. Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;

  3. Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;

  4. Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara. 1

Berkaitan dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.

Mahkamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3 September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya.

Dengan demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat, apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang harus segera dijalankan. 2

Demikianlah peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.

Perlu dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan (sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi, pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama. 3

Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat. 4

B. Permasalahan

Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?

C. Pembahasan

Dalam Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar di Indonesia.

Pada waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990, perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat. 5

Sungai Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.

Sementara itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk. Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk. 6

Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :

  1. Pertama-tama sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun (tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah, kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak Kepolisian;

  2. Kerak limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan bakar batu bata, genteng dan lain-lain;

  3. Untuk mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”), yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian air tiap bulannya.

Dari data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA. 7

Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).

Marjono Reksodiputro melukiskan, para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran lingkungan pada umumnya. 8

Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :

  1. Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);

  2. Pengusaha yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;

  3. Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);

  4. Korban meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”. 9

Dari pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan keselamatan.

Warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa. 10

Bagi pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan, sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan keselamatan.

Semua perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka, sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”. 11

Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle” (perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.

Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :

Lingkungan Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 12

Apabila kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Sikap pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan, merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak hukum.

J.E. Sahetapy, dengan tajam bahkan menggambarkan para pengusaha industri pencemar sebagai “penjahat siluman” atau “invisible criminal,” sedangkan para korban pencemaran industri sebagai “korban yang tidak kelihatan” atau invisible victim”. 13

D. Penutup

Setelah dilakukan peninjauan terhadap peranan hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru, secara utuh menyeluruh dari berbagai aspek sosial, budaya dan struktural masyarakat, maka dapat disimpulkan perspektif hukum pidana baru tersebut, sebagai berikut :

  1. Aspek korban diperhatikan dalam rangka penjatuhan pidana, yakni pencantuman ganti kerugian sebagai pidana tambahan;

  2. Pidana penjara atau pidana denda disertai dengan pengenaan kewajiban membayar ganti kerugian, akan memulihkan keseimbangan hidup bermasyarakat ke keadaan semula, lahir maupun batin dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;

  3. Reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh Negara melalui Badan Penegak Hukum.

Dengan demikian, sementara dapat direkomendasikan, agar pada kasus-kasus pencemaran industri yang cukup “serious” (yang menimbulkan malapetaka, “disaster”, dan motif kegiatan pengusaha industri semata-mata demi mengejar keuntungan, tanpa memperhitungkan kesehatan dan keselamatan jiwa warga masyarakat penduduk sekitar), kiranya pertama-tama langkah yang harus diambil oleh penegak hukum adalah, secara tegas segera mengambil alih reaksi terhadap pengusaha industri pencemar, si pelaku delik, dengan melakukan penuntutan pidana agar kegiatan-kegiatan yang merusak atau mencemarkan lingkungan dihentikan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi. Langkah berikutnya, dengan menatap masa depan, adalah menerapkan pidana tambahan dalam rangka mengemplimentasikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran industri yang kebanyakan merupakan masalah yang tentunya mengharapkan dapat memperoleh ganti kerugian dari pengusaha industri pencemar.

Kebijaksanaan penuntutan dimaksud merupakan suatu kebijaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang inovatif, yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban pencemaran industri, konform dengan pencantuman sebagai pidana tambahan dalam rancangan KUHP Baru.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Andojo Soetjipto, 1991. Hukum Pidna dan Hukum Acara Pidana. Pelatihan Tehnis Yustisial hakim Militer. Batu Malang

Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993.

1 Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993. hal. 14

2 Ibid., hal. 15.

3 Ibid., hal. 16.

4 Ibid., hal. 17.

5 Ibid., hal. 18.

6 Ibid., hal. 19.

7 Ibid., hal. 19-20

8 Ibid., hal. 21.

9 Loc. cit.

10 Ibid., hal. 22.

11 Ibid., hal. 22-23.

12 Ibid., hal. 23-24.

13 Ibid., hal. 25.

Hukum Pidana Militer


Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI.

A. Peranan Hukum Pidana Militer dalam proses penyelesaian perkara
Peranan Hukum Pidana Militer dalam proses penyelesaian per-kara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut terkait pula dengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah sebagai berikut :
a. Komandan satuan selaku Ankum dan atau Papera.
b. Polisi Militer sebagai Penyidik.
c. Oditur Militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor
d. Hakim Militer di Pengadilan Militer yang mengadili memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan sebagai Praju-rit TNI menurut undang-undang.
Ditinjau dari perannya dalam fung-si penegakan hukum militer, Koman-dan selaku Ankum adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu yang berkedudukan setingkat Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pen-dapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini disampai-kan kepada Papera berdasarkan be-rita acara pemeriksaan hasil penyidik-an Polisi Militer.
Peran Oditur Militer dalam proses Hukum Pidana Militer selain ber-kewajiban menyusun berita acara pendapat kepada Papera untuk terangnya suatu perkara pidana, juga bertindak selaku pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan Militer. Oditur Militer juga dapat bertindak sebagai penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna meleng-kapi hasil pemeriksaan Penyidik Polisi Militer apabila dinilai belum lengkap. Apabila Papera telah menerima berita acara pendapat dari Oditur Militer, selanjutnya Papera dengan kewenangannya mempertimbangkan untuk menentukan perkara pidana tersebut diserahkan kepada atau diselesaikan di Pengadilan Militer. Dengan diterbitkannya Surat Keputus-an Penyerahan Perkara (Skepera) ter-sebut, menunjukkan telah dimulainya proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Militer.

B. Peranan Hukum Pidana Militer dalam Membangun Budaya Sadar Hukum

Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang me-miliki peran sebagai pendukung ter-bentuknya budaya hukum di ling-kungan mereka. Kesadaran hukum di lingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para Prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan kontribusi dengan berusaha untuk senantiasa mentaati segala peraturan yang berlaku serta menjadikan hukum sebagai acuan dalam berperilaku dan bertindak. Pemahaman tentang kesadaran hu-kum perlu terus ditingkatkan sehingga terbentuk perilaku budaya taat hukum dalam diri masing-masing individu Prajurit TNI. Prinsip supremasi hukum yang menempatkan hukum di atas segala tindakan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus terus menerus disosialisasikan kepada seluruh Prajurit TNI secara meluas se-hingga dapat menjadi perilaku budaya baik dalam kedinasan maupun ke-hidupan sehari-hari. Peningkatan kesadaran dan penegakan hukum bagi Prajurit TNI perlu dijadikan sebagai prioritas kebijakan dalam pembinaan personel TNI, karena kurangnya pemahaman hukum di kalangan Prajurit TNI merupakan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di samping pengaruh-pengaruh lainnya baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi komando dan menjadi salah satu kewajiban Komandan selaku pengambil keputus-an. Menjadi keharusan bagi para Komandan di setiap tingkat kesatuan untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin para Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya. Perlu pula diperhatikan bahwa konsep pemberian pengharga-an dan penjatuhan sanksi hukuman harus benar-benar diterapkan berkait-an dengan penyelenggaraan fungsi penegakan hukum. Pemberian peng-hargaan haruslah ditekankan pada setiap keberhasilan pelaksanaan kinerja sesuai bidang tugasnya, bukan berdasarkan aspek lain yang jauh dari penilaian profesionalisme bidang tugasnya. Sebaliknya kepada Prajurit TNI yang dinilai kurang pofesional, banyak mengalami kegagalan dalam pelaksanaan tugas, lamban dalam kinerja, memiliki kualitas disiplin yang rendah sehingga melakukan perbuat-an yang melanggar hukum, maka ke-pada mereka sangat perlu untuk dijatuhi sanksi hukuman. Penjatuhan sanksi ini harus dilakukan dengan tegas dan apabila perlu diumumkan kepada lingkungan tugas sekitarnya untuk dapat dijadikan contoh. Setiap penjatuhan sanksi hukuman harus memiliki tujuan positip, artinya dapat memberikan pengaruh positip dalam periode waktu yang panjang terhadap perilaku Prajurit TNI yang bersangkutan dan menimbulkan efek cegah terhadap Prajurit TNI lainnya.
Rambu-rambu sebagai batasan yang perlu dipedomani dalam me-rumuskan kebijakan untuk meningkat-kan profesionalisme Prajurit TNI ha-ruslah bersifat dinamis serta peka terhadap perubahan sosial. Penye-lenggaraan kebijakan di bidang pene-gakan hukum harus dilaksanakan dengan berpedoman kepada arah gerak reformasi. Menjadi sangat penting untuk diperhatikan bahwa upaya peningkatan profesionalisme Prajurit TNI haruslah dilaksanakan dengan tetap menerapkan nilai-nilai dasar kejuangan dan jati diri TNI sebagai Prajurit Pejuang Sapta Marga.
Langkah strategis yang harus dilakukan adalah melalui pembangunan kesadaran dan penegakan hukum se-bagai upaya yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas moral dan disiplin Prajurit TNI. Konsepsi ini diharapkan akan dapat mengantisipasi dan menjawab permasalahan yang timbul, yaitu menurunnya profesionalis-me sebagai akibat meningkatnya kua-litas dan kuantitas pelanggaran hukum yang dilakukan Prajurit TNI. Untuk lebih memberi arah terhadap pelaksa-naan konsepsi tersebut, maka rumus-an kebijakan perlu diarahkan dengan prioritas sasaran yaitu meningkatnya kesadaran hukum dan terseleng-garanya penegakan hukum yang mantap serta terbentuknya buda-ya patuh hukum di kalangan Prajurit TNI.
TNI merupakan organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan negara. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, setiap Prajurit TNI di-harapkan mampu memelihara tingkat profesionalismenya yaitu sebagai bagi-an dari komponen utama kekuatan pertahanan negara dalam rangka men-jaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk memelihara tingkat profesional-isme Prajurit TNI agar selalu berada pada kondisi yang diharapkan, salah satu upaya alternatif yang dilakukan adalah dengan tetap menjaga dan meningkatkan kualitas moral Prajurit melalui pembangunan kesadaran dan penegakan hukum.
Konsepsi penyadaran dan pene-gakan hukum sebagaimana diuraikan di atas bertujuan untuk membentuk postur Prajurit TNI profesional yang mampu mengembangkan tatanan kehidupan pribadi dan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa dan ber-negara yang lebih demokratis guna mewujudkan kemampuan profesional sebagai alat pertahanan negara. Adapun sasaran yang diharapkan adalah tercapainya kadar kesadaran hukum dan penegakan hukum yang mantap, dengan indikator adanya keserasian dan keseimbangan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban di kalangan Prajurit TNI; terbentuknya kualitas pribadi Prajurit TNI yang memiliki budaya patuh hukum sebagai landasan kemampuan profesionalisme dengan indikator rendahnya angka pelanggaran hukum baik secara kualitas maupun kuantitas; dan terwujudnya Prajurit TNI yang profesional memiliki kesadaran hukum yang cukup mantap dilandasi dengan nilai-nilai kejuangan, dengan indikator tingkat disiplin yang cukup tinggi di dalam pelaksanaan tugas maupun kehidupan sehari-hari.

C. Peranan Hukum Pidana Militer dalam hal ketertiban, penyidikan, dan pengurusan tahanan militer

Pemeliharaan Ketertiban Militer. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan Pembinaan dan Operasional Pembeliharaan, Penegakkan Disiplin, Hukum dan Tata Tertib, Pengendalian Lalu Lintas Militer dan pengurusan Surat Ijin Mengemudi TNI Angkatan Darat serta Pengawalan Protokoler Kenegaraan.
Penyidikan. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan Pembinaan dan Operasional Penyidikan Perkara Pidana, serta penyelenggaraan Laboratorium Kriminalistik.
Pengurusan Tahanan Militer. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan dan pengurusan tahanan dan instalasi tahanan militer, pengurusan tahanan operasi militer, tahanan keadaan bahaya, tawanan perang serta interniran peran.

Daftar Pustaka

http://www.mabesad.mil.id/artikel/0203analisis.html
http://www.tni.mil.id/patriot/200603/i_hukum.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi_Militer_Angkatan_Darat
http://www.tni-au.mil.id/content.asp?contentid=4825


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER

BUKU PERTAMA

BAB PENDAHULUAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM

Pasal 1

(Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 2

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Terhadap tindak pidana yang tidak atercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan olehorang-orang yang tunduk pada kekuasan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 3

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan-ketentusan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip) Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.

BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 4

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1957) Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain darip[ada yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diterapkan kepada militer:

Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;

Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitabn undang-undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan pekerjaannya untuk Angkatan Perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalamn keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 5

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-keadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan mliter.

BAB II
PIDANA

Pasal 6

Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini adalah:

a. Pidana-pidana utama:
ke-1, Pidana mati;
ke-2, Pidana penjara;
ke-3, Pidana kurungan;
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).

b. Pidana-pidana tambahan:
ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau taznpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
ke-2, Penurunan pangkat;
ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 7

(1) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang disebutkan pada nomor 3 dalam pasal tersebut di atas, berlaku ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam iitab undang-undang ini.

(2) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana yang tidak diatur dalam kitab undang-undang ini.

Pasal 8

(1) (Disempurnakan dengan UU No 2 Pnps 1964) Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup.

(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947 dan selanjutnya lihat UU No 2 Pnps 1964) Peraturan- peraturan selanjutnya tentang cara menjalankan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 9

Penguburan jenasah terpidana diselenggarakan dengan sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati itu dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terpidana diterjunkan ke laut.

Pasal 10

Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer.

Pasal 11

(1) Militer yang menjalani salah satu pidana tersebut pada pasal terdahulu, melaksanakan sesuatu pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan peraturan pelaksanaan pada Pasal 12.

(2) Ketentuan-ketentuan pada Pasal 20, 21, 23 dan 24 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak diterapkan kepada terpidana.

Pasal 12

(1) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Penunjukan rumah-rumah pemasyarakatan militer yang dimaksud pada Pasal 10, demikian pula tentang pengaturan dan penguasaan bangunan-bangunan itu, tentang pembagian para terpidana dalam kelas-kelas, tentang pekerjaan, tentang upah untuk pekerjaan itu, tentang pendidikan (pemasyarakatan), tentang ibadat, tentang tata tertib, tentang tempat tidur, tentang makanan dan tentangf pakaian diatur dengan perundang-undangan.

(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Peraturan-peraturan rumah tangga untuk bangunan-bangunan tersebut, jika perlu ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Pasal 13

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti oleh para terpidana, dalam keadaan-keadaan dan dengan cara yang ditentukan dengan undang-undang, dapat dijalankan di suatu tempat lain sebagai pengganti dari bangunan yang seharusnya disediakan bagi penjalanan pidana tersebut.

Pasal 14

Apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalani sebagai pidana kurungan.

Pasal 15

Hak yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hanya digunakan apabila tidak akan bertentangan dengan kepentingan militer.

Pasal 16

Dalam perintah kepada terpidana yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika terpidana adalah militer, harus selalu ikut ditetapkan sebagai persyaratan umum, bahwa sebelum habis masa percobaannya ia tidak akan melakukan pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-1 Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer yang bersifat berat, dan demikian pula mengenai pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-2 sampai denganb ke6 pasal tersebut.

Pasal 17

Jika terpidana adalah militer, maka usul yang dimaksudkan pada ayat pertama Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dibuat berdasarkan keputusan dari Panglima/Perwira komandan langsungnya, keputusan mana tidak boleh diambil sebelum meminta pendapat dari pejabat yang berhak mengajukan usul tersebut.

Pasal 18

Apabila perintah diberikan untuk menjalani pidana, sesuai dengan Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kepada terpidana yang pada saat itu bukan seprang militer, atau tidak sedang dalam dinas yang sebenarnya, hakim dapat menentukan bahwa pidana-pidana tambahan yang dimaksudkan dalam Pasal 6.b. nomor ke-1 dan ke-2 tidak akan dijalankan.

Pasal 19

(Diubah dengan UU No 38 Tahun 1947) Apabila perintah yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberikan oleh suatu Mahkamah Militer Luar Biasa/khusus yang telah ditiadakan/dihentikan, maka yang dianggap sebagai pejabat yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah Jaksa/ Oditur Militer Agung, dan hak-hak yang dirumuskan pada Pasal-pasal 14.c. dan 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilaksanakan oleh Mahkamah Militer Agung.

Pasal 20

Apabila diberikan suatu tugas untuk memberi bantuan atau pertolongan sesuai dengan ayat kedua Pasal 14.d. atau ayat keempat Pasal 15.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka tindakan-tindakan yang berhubungan dengan itu, harus dengan persetujuan Panglima/Perwira komandan langsung, jika terpidana bersyarat atau yang dibebaskan bersyarat berada dalam dinas yang sebenarnya.

Pasal 21

BAB III
PENIADAAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA

Pasal 32

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Tidak dipidana, barangsiapa dalam waktu perang, melakukan suatu tindakan, dalam batas-batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan suatu peraturan yang dutetapkan sebagai kelanjutan dari perjanjian tersebut.

Pasal 33

BAB IV
PERBARENGAN TINDAK PIDANA

Pasal 39

Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana lainnyselain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

BAB V
TINDAK PIDANA YANG HANYA DAPAT DITUNTUT KARENA PENGADUAN

Pasal 40

Apabila salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal-pasal 287, 293 dan 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan dalam waktu perang oleh orang yang tunduk pada peradilan militer, maka penuntutannya dapat dilakukan karena jabatan.

BAB VI
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA

Pasal 41

BAB VII
PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH DALAM KITAB UNDANG-UNDANG INI, PERLUASAN PENERAPAN BEBERA[A KETENTUAN

Pasal 45

BUKU KEDUA

KEJAHATAN-KEJAHATAN

BAB I
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

Pasal 64

BAB II
KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH

Pasal 73

Pasal 81

Militer, yang dengan sengaja mengambil suatu barang yang ditentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud untuk dengan melawan hukum memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun.

BAB III
KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS

Pasal 85

Militer, yang karena salahnya menyebabkan ketidakhadirannya tanpa izin diancam:

Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari;

Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai, dfisebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari suatu perjalanan ke suatu tempat yang terletak di luar pulau di mana dia sedang berada yang diketahuinya atau patut harus menduganya ada perintah untuk itu;

Ketiga, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan apabila ketidakhadiran itu, dalam waktu poerang tidak lebih lama dari empat hari;

Ke-4, Dengan pidana penjara maksimum dua tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari usaha perjalanan yang diperintahkan kepadanya sebagaimana diuraikan pada nomor ke-2, atau tergagalkannya suatu perjumpaan dengan musuh.

Pasal 86

Militer, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin diancam:

Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum 1 tahun 4 bulan, apabila ketidakhadiran aitu dalam waktu damai minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari 30 hari.

Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang tidak lebih lama dari 4 hari.

Pasal 87

(1) Diancam karena desersi, militer:

Ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;

Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;

Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.

(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

(3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.

BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN

Pasal 97

(1) Militer, yang dengan sengaja, menghina atau mengancam dengan suatu perbuatan jahat kepada seorang atasan, baik di tempat umum secara lisan atau dengan tulisan atau lukisan, atau di hadapannya secara lisan atau dengan isyarat atau perbuatan, atau dengan surat atau lukisan yang dikirimkan atau yang diterimakan, maupun memaki-maki dia atau menistanya atau dihadapannya mengejeknya, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun.

(2) Apabila tindakan itu dalam dinas, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun.

Pasal 98

BAB V
KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS

Pasal 118

BAB VI
PENCURIAN DAN PENADAHAN

Pasal 140

Diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun, barangsiapa yang melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan (kesempatan) tempat kediamannya atau perumahannya yang diperolehnya berdasarkan kekuasaan umum.

Pasal 141

BAB VII
PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG

Pasal 147

Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja membunuh, membinasakan, membuat tidak terpakai ubntuk dinas atau menghilangkan binatang keperluan Angkatan Perang, diancam:

ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepunuh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya, sementara ia termasuk suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan untuk perang.

ke-2, dengan pidana penjara maksumum lima tahun dalam hal lain-lainnya.

Pasal 148

Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja merusak, membinasakan, membuat tidak terpakai atau menghilangkan suatu baang keperluan perang, ataupun yang dengan sengaja dan semaunya menanggalkan dari diri sendiri suatu senjata, munisi, perlengkapan perang atau bahan makanan yang diberikan oleh negara kepadanya, diancam:

ke-1, dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya sementara ia termasuk pada suatu Angkatanm Perang yang disiapsiakan untuk perang;

ke-2, dengan pidana penjara maksimum lima tahun, di luar hal-hal yang disebutkan pada sub ke-1 pasal ini dan ayat pertama dari Pasal 72.

KETENTUAN PENUTUP UMUM

Pasal 150

Kitab undang-undang ini dapat disebut sebagai "Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer".



Apa, bagaimana, jelaskan, dimaksud, mengapa

Hukum Pembuktian

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

Menurut pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit) “negatief wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti, hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.
Dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah.
Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu :
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dalam keterangan saksi ini harus diperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti;
c. Alasan yang dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang apada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Sedangkan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan yang sebelumnya diambil sumpah terlebih dahulu. Adapun yang di maksud surat di sini adalah Berita Acara (BAP) dan surat lain yang berbentuk surat resmi.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yanglain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi.
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan “pengakuan” atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Pembuktian dalam Tindak Pidana Khusus Korupasi, Menurut pasal 37 ayat 4 UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 38 menyebutkan Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7. yaitu
1. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
2. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Kejahatan HAM

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.

Saddam Husein, mantan Presiden Irak, diadili karena kejahatan perang

Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.

Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.

Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.

Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dari Jerman, mantan Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles Taylor. Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang.

Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II; penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II; serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999.

[sunting] Pranala luar

  • (Inggris) Dokumen dan sumber informasi mengenai perang, kejahatan perang, dan genosida
  • (Inggris) Situs Crimes of War Project
  • (Inggris) Perjanjian Roma untuk Pengadilan Kejahatan Internasional
  • (Inggris) Pengadilan khusus untuk Irak
  • (Inggris) Pengadilan khusus untuk Sierra Leone
  • (Inggris) Kejahatan perang Sri Lanka
  • (Inggris) Genosida suku Tamil di Sri Lanka
  • (Inggris) Pengadilan Kejahatan Internasional PBB untuk bekas Yugoslavia
  • (Inggris) Pengadilan Kejahatan Internasional PBB untuk Rwanda
  • (Inggris) Kejahatan perang Rajiv Gandhi (India)
  • (Inggris) Pengadilan ad-hock untuk Timor Timur

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia

Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

[sunting] Pengadilan kriminal internasional

Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan dan kejahatan perang.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan ::

(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan
(c) Perbudakan;
(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk
(e) Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain
(f) Menganiaya;
(g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;
(h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional
(i) Penghilangan seseorang secara paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan').

Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.[1]

Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.

[sunting] Contoh genosida

  • Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama sebelum Masehi.
  • Pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM.
  • Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7.
  • Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492.
  • Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya semenjak tahun 1788.
  • Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I.
  • Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
  • Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur garis perbatasan Oder-Neisse.
  • Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an.
  • Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussein Irak pada tahun 1980-an.
  • Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.
  • Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu.
  • Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia oleh Serbia antara 1991 - 1996. Salah satunya adalah Pembantaian Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu keputusan hukum. [2]
  • Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi Janjaweed di Sudan pada 2004.[3]


Dimana, kapan, mengapa, apa,

Peradilan HAM

Pengadilan HAM diatur dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Pengadilan HAM, maka Pengadilan HAM merupakan Pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dalam Pengadilan HAM ada hakim ad hoc yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung untuk masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. (Pasal 28 UU No. 26/2000).

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan baik di negara Indonesia maupun di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia (Pasal 4 dan 5 UU. No. 26/2000).

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 6 UU. No. 26/2000).

Pelanggaran HAM yang berat meliputi:

  • Kejahatan Genocida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan dan memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama dengan cara:
  1. Membunuh anggota kelompok
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
  4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
  • Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
  1. Pembunuhan
  2. Pemusnahan
  3. Perbudakan
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan-ketentuan pokok hukum internasional
  6. Penyiksaan
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
  8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
  9. Penghilangan orang secara paksa
  10. Kejahatan apartheid

Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU. 26/2000 adalah hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (Pasal 10).

Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Kepres, dan berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 43 UU 26/2000)

Untuk pelanggaran HAM yang berat sebagaiman dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa (Pasal 46 UU 26/2000)

Daftar Pustaka:

Prof. Dr. H. Muchsin,S.H., Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka & Kebijakan Asasi, STIH “IBLAM”, Depok 2004

A. Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994