Kamis, 12 Januari 2012

Hukum Pidana Militer


Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI.

A. Peranan Hukum Pidana Militer dalam proses penyelesaian perkara
Peranan Hukum Pidana Militer dalam proses penyelesaian per-kara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut terkait pula dengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah sebagai berikut :
a. Komandan satuan selaku Ankum dan atau Papera.
b. Polisi Militer sebagai Penyidik.
c. Oditur Militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor
d. Hakim Militer di Pengadilan Militer yang mengadili memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan sebagai Praju-rit TNI menurut undang-undang.
Ditinjau dari perannya dalam fung-si penegakan hukum militer, Koman-dan selaku Ankum adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu yang berkedudukan setingkat Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pen-dapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini disampai-kan kepada Papera berdasarkan be-rita acara pemeriksaan hasil penyidik-an Polisi Militer.
Peran Oditur Militer dalam proses Hukum Pidana Militer selain ber-kewajiban menyusun berita acara pendapat kepada Papera untuk terangnya suatu perkara pidana, juga bertindak selaku pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan Militer. Oditur Militer juga dapat bertindak sebagai penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna meleng-kapi hasil pemeriksaan Penyidik Polisi Militer apabila dinilai belum lengkap. Apabila Papera telah menerima berita acara pendapat dari Oditur Militer, selanjutnya Papera dengan kewenangannya mempertimbangkan untuk menentukan perkara pidana tersebut diserahkan kepada atau diselesaikan di Pengadilan Militer. Dengan diterbitkannya Surat Keputus-an Penyerahan Perkara (Skepera) ter-sebut, menunjukkan telah dimulainya proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Militer.

B. Peranan Hukum Pidana Militer dalam Membangun Budaya Sadar Hukum

Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang me-miliki peran sebagai pendukung ter-bentuknya budaya hukum di ling-kungan mereka. Kesadaran hukum di lingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para Prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan kontribusi dengan berusaha untuk senantiasa mentaati segala peraturan yang berlaku serta menjadikan hukum sebagai acuan dalam berperilaku dan bertindak. Pemahaman tentang kesadaran hu-kum perlu terus ditingkatkan sehingga terbentuk perilaku budaya taat hukum dalam diri masing-masing individu Prajurit TNI. Prinsip supremasi hukum yang menempatkan hukum di atas segala tindakan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus terus menerus disosialisasikan kepada seluruh Prajurit TNI secara meluas se-hingga dapat menjadi perilaku budaya baik dalam kedinasan maupun ke-hidupan sehari-hari. Peningkatan kesadaran dan penegakan hukum bagi Prajurit TNI perlu dijadikan sebagai prioritas kebijakan dalam pembinaan personel TNI, karena kurangnya pemahaman hukum di kalangan Prajurit TNI merupakan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di samping pengaruh-pengaruh lainnya baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi komando dan menjadi salah satu kewajiban Komandan selaku pengambil keputus-an. Menjadi keharusan bagi para Komandan di setiap tingkat kesatuan untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin para Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya. Perlu pula diperhatikan bahwa konsep pemberian pengharga-an dan penjatuhan sanksi hukuman harus benar-benar diterapkan berkait-an dengan penyelenggaraan fungsi penegakan hukum. Pemberian peng-hargaan haruslah ditekankan pada setiap keberhasilan pelaksanaan kinerja sesuai bidang tugasnya, bukan berdasarkan aspek lain yang jauh dari penilaian profesionalisme bidang tugasnya. Sebaliknya kepada Prajurit TNI yang dinilai kurang pofesional, banyak mengalami kegagalan dalam pelaksanaan tugas, lamban dalam kinerja, memiliki kualitas disiplin yang rendah sehingga melakukan perbuat-an yang melanggar hukum, maka ke-pada mereka sangat perlu untuk dijatuhi sanksi hukuman. Penjatuhan sanksi ini harus dilakukan dengan tegas dan apabila perlu diumumkan kepada lingkungan tugas sekitarnya untuk dapat dijadikan contoh. Setiap penjatuhan sanksi hukuman harus memiliki tujuan positip, artinya dapat memberikan pengaruh positip dalam periode waktu yang panjang terhadap perilaku Prajurit TNI yang bersangkutan dan menimbulkan efek cegah terhadap Prajurit TNI lainnya.
Rambu-rambu sebagai batasan yang perlu dipedomani dalam me-rumuskan kebijakan untuk meningkat-kan profesionalisme Prajurit TNI ha-ruslah bersifat dinamis serta peka terhadap perubahan sosial. Penye-lenggaraan kebijakan di bidang pene-gakan hukum harus dilaksanakan dengan berpedoman kepada arah gerak reformasi. Menjadi sangat penting untuk diperhatikan bahwa upaya peningkatan profesionalisme Prajurit TNI haruslah dilaksanakan dengan tetap menerapkan nilai-nilai dasar kejuangan dan jati diri TNI sebagai Prajurit Pejuang Sapta Marga.
Langkah strategis yang harus dilakukan adalah melalui pembangunan kesadaran dan penegakan hukum se-bagai upaya yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas moral dan disiplin Prajurit TNI. Konsepsi ini diharapkan akan dapat mengantisipasi dan menjawab permasalahan yang timbul, yaitu menurunnya profesionalis-me sebagai akibat meningkatnya kua-litas dan kuantitas pelanggaran hukum yang dilakukan Prajurit TNI. Untuk lebih memberi arah terhadap pelaksa-naan konsepsi tersebut, maka rumus-an kebijakan perlu diarahkan dengan prioritas sasaran yaitu meningkatnya kesadaran hukum dan terseleng-garanya penegakan hukum yang mantap serta terbentuknya buda-ya patuh hukum di kalangan Prajurit TNI.
TNI merupakan organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan negara. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, setiap Prajurit TNI di-harapkan mampu memelihara tingkat profesionalismenya yaitu sebagai bagi-an dari komponen utama kekuatan pertahanan negara dalam rangka men-jaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk memelihara tingkat profesional-isme Prajurit TNI agar selalu berada pada kondisi yang diharapkan, salah satu upaya alternatif yang dilakukan adalah dengan tetap menjaga dan meningkatkan kualitas moral Prajurit melalui pembangunan kesadaran dan penegakan hukum.
Konsepsi penyadaran dan pene-gakan hukum sebagaimana diuraikan di atas bertujuan untuk membentuk postur Prajurit TNI profesional yang mampu mengembangkan tatanan kehidupan pribadi dan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa dan ber-negara yang lebih demokratis guna mewujudkan kemampuan profesional sebagai alat pertahanan negara. Adapun sasaran yang diharapkan adalah tercapainya kadar kesadaran hukum dan penegakan hukum yang mantap, dengan indikator adanya keserasian dan keseimbangan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban di kalangan Prajurit TNI; terbentuknya kualitas pribadi Prajurit TNI yang memiliki budaya patuh hukum sebagai landasan kemampuan profesionalisme dengan indikator rendahnya angka pelanggaran hukum baik secara kualitas maupun kuantitas; dan terwujudnya Prajurit TNI yang profesional memiliki kesadaran hukum yang cukup mantap dilandasi dengan nilai-nilai kejuangan, dengan indikator tingkat disiplin yang cukup tinggi di dalam pelaksanaan tugas maupun kehidupan sehari-hari.

C. Peranan Hukum Pidana Militer dalam hal ketertiban, penyidikan, dan pengurusan tahanan militer

Pemeliharaan Ketertiban Militer. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan Pembinaan dan Operasional Pembeliharaan, Penegakkan Disiplin, Hukum dan Tata Tertib, Pengendalian Lalu Lintas Militer dan pengurusan Surat Ijin Mengemudi TNI Angkatan Darat serta Pengawalan Protokoler Kenegaraan.
Penyidikan. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan Pembinaan dan Operasional Penyidikan Perkara Pidana, serta penyelenggaraan Laboratorium Kriminalistik.
Pengurusan Tahanan Militer. Meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan dan pengurusan tahanan dan instalasi tahanan militer, pengurusan tahanan operasi militer, tahanan keadaan bahaya, tawanan perang serta interniran peran.

Daftar Pustaka

http://www.mabesad.mil.id/artikel/0203analisis.html
http://www.tni.mil.id/patriot/200603/i_hukum.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi_Militer_Angkatan_Darat
http://www.tni-au.mil.id/content.asp?contentid=4825


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER

BUKU PERTAMA

BAB PENDAHULUAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM

Pasal 1

(Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 2

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Terhadap tindak pidana yang tidak atercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan olehorang-orang yang tunduk pada kekuasan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 3

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan-ketentusan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip) Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.

BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 4

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1957) Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain darip[ada yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diterapkan kepada militer:

Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;

Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitabn undang-undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan pekerjaannya untuk Angkatan Perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalamn keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 5

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-keadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan mliter.

BAB II
PIDANA

Pasal 6

Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini adalah:

a. Pidana-pidana utama:
ke-1, Pidana mati;
ke-2, Pidana penjara;
ke-3, Pidana kurungan;
ke-4, Pidana tutupan (UU No 20 Tahun 1946).

b. Pidana-pidana tambahan:
ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau taznpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
ke-2, Penurunan pangkat;
ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 7

(1) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang disebutkan pada nomor 3 dalam pasal tersebut di atas, berlaku ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam iitab undang-undang ini.

(2) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana yang tidak diatur dalam kitab undang-undang ini.

Pasal 8

(1) (Disempurnakan dengan UU No 2 Pnps 1964) Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup.

(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947 dan selanjutnya lihat UU No 2 Pnps 1964) Peraturan- peraturan selanjutnya tentang cara menjalankan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 9

Penguburan jenasah terpidana diselenggarakan dengan sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati itu dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terpidana diterjunkan ke laut.

Pasal 10

Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer.

Pasal 11

(1) Militer yang menjalani salah satu pidana tersebut pada pasal terdahulu, melaksanakan sesuatu pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan peraturan pelaksanaan pada Pasal 12.

(2) Ketentuan-ketentuan pada Pasal 20, 21, 23 dan 24 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak diterapkan kepada terpidana.

Pasal 12

(1) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Penunjukan rumah-rumah pemasyarakatan militer yang dimaksud pada Pasal 10, demikian pula tentang pengaturan dan penguasaan bangunan-bangunan itu, tentang pembagian para terpidana dalam kelas-kelas, tentang pekerjaan, tentang upah untuk pekerjaan itu, tentang pendidikan (pemasyarakatan), tentang ibadat, tentang tata tertib, tentang tempat tidur, tentang makanan dan tentangf pakaian diatur dengan perundang-undangan.

(2) (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Peraturan-peraturan rumah tangga untuk bangunan-bangunan tersebut, jika perlu ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Pasal 13

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti oleh para terpidana, dalam keadaan-keadaan dan dengan cara yang ditentukan dengan undang-undang, dapat dijalankan di suatu tempat lain sebagai pengganti dari bangunan yang seharusnya disediakan bagi penjalanan pidana tersebut.

Pasal 14

Apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalani sebagai pidana kurungan.

Pasal 15

Hak yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hanya digunakan apabila tidak akan bertentangan dengan kepentingan militer.

Pasal 16

Dalam perintah kepada terpidana yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika terpidana adalah militer, harus selalu ikut ditetapkan sebagai persyaratan umum, bahwa sebelum habis masa percobaannya ia tidak akan melakukan pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-1 Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer yang bersifat berat, dan demikian pula mengenai pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada nomor ke-2 sampai denganb ke6 pasal tersebut.

Pasal 17

Jika terpidana adalah militer, maka usul yang dimaksudkan pada ayat pertama Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dibuat berdasarkan keputusan dari Panglima/Perwira komandan langsungnya, keputusan mana tidak boleh diambil sebelum meminta pendapat dari pejabat yang berhak mengajukan usul tersebut.

Pasal 18

Apabila perintah diberikan untuk menjalani pidana, sesuai dengan Pasal 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kepada terpidana yang pada saat itu bukan seprang militer, atau tidak sedang dalam dinas yang sebenarnya, hakim dapat menentukan bahwa pidana-pidana tambahan yang dimaksudkan dalam Pasal 6.b. nomor ke-1 dan ke-2 tidak akan dijalankan.

Pasal 19

(Diubah dengan UU No 38 Tahun 1947) Apabila perintah yang dimaksudkan pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberikan oleh suatu Mahkamah Militer Luar Biasa/khusus yang telah ditiadakan/dihentikan, maka yang dianggap sebagai pejabat yang dimaksud pada Pasal 14.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah Jaksa/ Oditur Militer Agung, dan hak-hak yang dirumuskan pada Pasal-pasal 14.c. dan 14.f. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilaksanakan oleh Mahkamah Militer Agung.

Pasal 20

Apabila diberikan suatu tugas untuk memberi bantuan atau pertolongan sesuai dengan ayat kedua Pasal 14.d. atau ayat keempat Pasal 15.a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka tindakan-tindakan yang berhubungan dengan itu, harus dengan persetujuan Panglima/Perwira komandan langsung, jika terpidana bersyarat atau yang dibebaskan bersyarat berada dalam dinas yang sebenarnya.

Pasal 21

BAB III
PENIADAAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA

Pasal 32

(Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Tidak dipidana, barangsiapa dalam waktu perang, melakukan suatu tindakan, dalam batas-batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan suatu peraturan yang dutetapkan sebagai kelanjutan dari perjanjian tersebut.

Pasal 33

BAB IV
PERBARENGAN TINDAK PIDANA

Pasal 39

Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana lainnyselain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

BAB V
TINDAK PIDANA YANG HANYA DAPAT DITUNTUT KARENA PENGADUAN

Pasal 40

Apabila salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal-pasal 287, 293 dan 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan dalam waktu perang oleh orang yang tunduk pada peradilan militer, maka penuntutannya dapat dilakukan karena jabatan.

BAB VI
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA

Pasal 41

BAB VII
PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH DALAM KITAB UNDANG-UNDANG INI, PERLUASAN PENERAPAN BEBERA[A KETENTUAN

Pasal 45

BUKU KEDUA

KEJAHATAN-KEJAHATAN

BAB I
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

Pasal 64

BAB II
KEJAHATAN DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH

Pasal 73

Pasal 81

Militer, yang dengan sengaja mengambil suatu barang yang ditentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud untuk dengan melawan hukum memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun.

BAB III
KEJAHATAN YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS

Pasal 85

Militer, yang karena salahnya menyebabkan ketidakhadirannya tanpa izin diancam:

Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari;

Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai, dfisebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari suatu perjalanan ke suatu tempat yang terletak di luar pulau di mana dia sedang berada yang diketahuinya atau patut harus menduganya ada perintah untuk itu;

Ketiga, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan apabila ketidakhadiran itu, dalam waktu poerang tidak lebih lama dari empat hari;

Ke-4, Dengan pidana penjara maksimum dua tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari usaha perjalanan yang diperintahkan kepadanya sebagaimana diuraikan pada nomor ke-2, atau tergagalkannya suatu perjumpaan dengan musuh.

Pasal 86

Militer, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin diancam:

Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum 1 tahun 4 bulan, apabila ketidakhadiran aitu dalam waktu damai minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari 30 hari.

Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang tidak lebih lama dari 4 hari.

Pasal 87

(1) Diancam karena desersi, militer:

Ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;

Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;

Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.

(2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

(3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.

BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN

Pasal 97

(1) Militer, yang dengan sengaja, menghina atau mengancam dengan suatu perbuatan jahat kepada seorang atasan, baik di tempat umum secara lisan atau dengan tulisan atau lukisan, atau di hadapannya secara lisan atau dengan isyarat atau perbuatan, atau dengan surat atau lukisan yang dikirimkan atau yang diterimakan, maupun memaki-maki dia atau menistanya atau dihadapannya mengejeknya, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun.

(2) Apabila tindakan itu dalam dinas, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun.

Pasal 98

BAB V
KEJAHATAN TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS

Pasal 118

BAB VI
PENCURIAN DAN PENADAHAN

Pasal 140

Diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun, barangsiapa yang melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan (kesempatan) tempat kediamannya atau perumahannya yang diperolehnya berdasarkan kekuasaan umum.

Pasal 141

BAB VII
PERUSAKAN, PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG

Pasal 147

Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja membunuh, membinasakan, membuat tidak terpakai ubntuk dinas atau menghilangkan binatang keperluan Angkatan Perang, diancam:

ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepunuh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya, sementara ia termasuk suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan untuk perang.

ke-2, dengan pidana penjara maksumum lima tahun dalam hal lain-lainnya.

Pasal 148

Barangsiapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja merusak, membinasakan, membuat tidak terpakai atau menghilangkan suatu baang keperluan perang, ataupun yang dengan sengaja dan semaunya menanggalkan dari diri sendiri suatu senjata, munisi, perlengkapan perang atau bahan makanan yang diberikan oleh negara kepadanya, diancam:

ke-1, dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya sementara ia termasuk pada suatu Angkatanm Perang yang disiapsiakan untuk perang;

ke-2, dengan pidana penjara maksimum lima tahun, di luar hal-hal yang disebutkan pada sub ke-1 pasal ini dan ayat pertama dari Pasal 72.

KETENTUAN PENUTUP UMUM

Pasal 150

Kitab undang-undang ini dapat disebut sebagai "Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer".



Apa, bagaimana, jelaskan, dimaksud, mengapa

0 comments: